Senin, 23 Januari 2012
menguak kaum hipster
First thread saya...
Enjoy!
Kali ini saya hendak mencela para hipster.
Hipster — langsung saja dijelaskan maksud saya — adalah mereka yang dulu paling sadis mencela para alay, yang paling jijik diasosiasikan dengan para alay — karena hanya dan hanya mereka yang berhak dan sah merasa keren, karena segala apa yang melekat pada tubuh mereka itu modis dan bukan pasaran: bajunya bukan pasaran, sepatunya bukan pasaran, selera musiknya bukan pasaran.
Mereka berfikir mereka akan mati berfikir dirinya keren, bukan alay. Mereka akan mati. Pasti itu. Tapi soal keren atau tidak biar Tuan Malaikat Izrail saja yang menilai. Ya. Anda tidak salah. Saya memang sinis dan bias di sini. Biar. Karena memang segala tetek bengek soal alay dan hipster ini memang produk cara berfikir yang bias binti sesat binti semau-gue. Dan saya pun hendak menyesatkan Anda dalam labirin pertanda postmodernitas, sebuah frase yang sengaja saya tulis agar Anda bingung dan membuat saya tampak pintar.
Budaya Daur Ulang dan Senjakala Kebudayaan
Disklemer. Saya menulis artikel ini di MacBook Pro — sambil mendengarkan The Smiths dan Belle and Sebastians. Dan itu, sungguh, tidak membuat saya seorang hipster. Anda tidak setuju? Saya tidak perduli.
Yang jelas hipster itu ada di luar sana; dan mereka pun, sama menyebalkannya susah didefisinikannya dengan para alay. Situs humor Cracked adalah cahaya dalam kegelapan definisi ini. Dan kalau Anda hendak sedikit sok-intelek dan kekiri-kirian (apakah ini terjemahan leftist?), artikel dalam situs Adbuster juga cukup mebantu. Masalahnya adalah, kedua artikel itu ditulis oleh orang asing, yang tidak tahu Indonesia ada di mana, apalagi kenan menulis bahwa di negara berpenduduk mayoritas Muslim ini hipster juga bertebaran. Bertebaran? Ya, bertebaran. Di mana? Di semua rantai tokobuku Aksara (sarangnya kebudayaan indie), di daerah Kemang terutama dan di kampus yang ujian masuknya lewat SPMB atau perlu merogoh kocek sedikitnya 20 juta.
Di sana, saudara-saudara, saya yakin Anda bakal bertemu para hipster. Seperti di Amerika sana, hipster di negeri ini juga tidak terlalu kreatif; mereka mendaurulang masalalu. Lihat, misalnya, White Shoes and The Couples Company. Budaya retro menjadi ciri yang paling menonjol kaum hipster di Indonesia. Dan ini, menurut Douglas Haddow — yang mengaku 28-year-old Canadian writer, designer, video artist and general media enthusiast — dalam artikelnya di Adbuster adalah pertanda dari “jalan buntu peradaban Barat.” Kata Barat di sini tentunya diartikan sebagai peradaban global, peradaban yang dibentuk oleh media masa dan Internet, oleh Web. 2.0. Dan ini ada benarnya.
Bukankah apa yang ada di Internet saat ini hanya pengulangan dari apa yang sudah dilakukan ratusan, ribuan dan jutaan tahun yang lalu? Adakah kebudayaan yang benar-benar baru? Yang bisa disebut keren? Bahkan baju metalik yang melambangkan masa depan saja sekarang melambangkan semua yang basi dari tahun 2000, satu dekade lalu.
Di Indonesia, kaum hipster ini memang lebih mudah diidentikkan dengan anak-anak indie, yakni mereka yang mendengarkan Efek Rumah Kaca, bukan Pee Wee Gashkin;
mereka yang mendengarkan Sore, bukan ST12; mereka yang membaca novel macam The Catcher in the Rye dan To Kill A Mockingbird, bukan Ayat-ayat Cinta atau Laskar Pelangi.
Mereka biasanya anak-anak (usia 15-35) desain grafis dan gila fotografi. Blog dan halaman Fesbuk mereka bertebaran segala pertanda yang mengatakan bahwa mereka itu keren, hipster yang punya selera takbisa disamakan dengan selera pasaran atau orang kebanyakan. Coba lihat playlist anda. Anda bisa jadi seorang hipster.
Elitisme Para Hipster atau Mengapa Orang Yang Merasa Dirinya Keren Akan Selalu Berjarak Dengan Kita Orang Kebanyakan Yang Biasa Saja
Tetapi sekalipun Anda menyukai Sore, bisa jadi Anda bukan hipster. Karena mungkin Anda tidak cukup merasa keren. Dan yang lebih penting lagi, Anda tidak cukup merasa elitis — ya, elitis ini kata kuncinya. Kebalikan dari kaum alay yang menghendaki semacam recognition bahwa mereka adalah bagian dari trend, dari arus kebanyakan, dari mereka yang keren, para hipster sangat ingin merasa dibedakan dari orang kebanyakan, alay atau tidak. Mereka merasa bahwa mereka adalah segelintir orang yang punya selera seni yang paling keren.
Itu sebabnya ketika atribut kekerenan mereka menjadi bagian dari arus utama, mereka mendesis. Tentu. Sah-sah saja merasa begitu. Seperti Anda sah-sah saja merasa menjadi orang paling ganteng sejagad raya. Lalu, masalahnya apa, toh? Kenapa mereka menyebalkan? Sebenarnya tidak ada masalah kalau memang dunia para elitis ini tidak bersinggungan dengan dunia orang kebanyakan, orang biasa-biasa saja seperti kita-kita ini (Anda ikut kita?), yang ironisnya adalah alasan mengapa mereka para hipster merasa hipster dan bisa disebut hipster.
Iya, bukan? Karena kalau semua orang bisa punya selera fashion dan musik yang sama dengan para hipster, secara teknis mereka bukan hipster lagi, bukan? Karena itu mereka harus berjarak. Tidak dosa memang. Saya pun mengambil jarak dari orang kebanyakan, atau mungkin mengambil jarak juga dari para hipster itu, tetapi saya…ah, baiklah, saya memang sama elitis dan bajingannya juga dengan para hipster itu.
Tetapi karena alasan yang berbeda. Ketika saya mengambil jarak dari orang lain, dan berupaya untuk bersikap otentik, otentisitas itu bisa dipertanggungjawabkan sedikit untuk menyatakan individualitas saya.
Sementara para hipster? Mereka, seperti halnya kaum alay, haus dan butuh pengakuan, legitimasi sebagai hipster — sebuah nilai kekerenan yang diakui secara mutawatir oleh mereka yang sudah dibaptis sebagai hipster. Dan ini membuat upaya mereka menjadi tidak berbeda, karena di mana ada individualitas apabila apa yang keren ditentukan oleh apa yang Aksara dan Pithcfork pikir keren?
Mereka mau beda dengan menyeragamkan diri, meski dengan membentuk komunitas yang mereka pikir lebih kecil, lebih elitis dan eksklusif. Dan mereka salah. Hipster itu fenomena global, dalam berbagai variannya — ada di mana-mana. Di situ mungkin paradoksnya. Di situ pula, saudara-saudara, mungkin letak menyebalkannya di mana.
Singkat kata. Hipster adalah alay yang elitis. Alay yang elitis. Alay yang elitis. Alay yang elitis. Alay yang elitis. Alay yang elitis. Udah alay, elitis lagi. Kampret!
Semoga berkenan
heehee
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar