Menurut
Dalyono (2008), rendahnya minat orang tua terhadap pendidikan
disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya faktor pribadi (tingkat
kesadaran), faktor ekonomi, faktor sosial budaya (social cultur), dan faktor letak geografis sekolah.
Faktor
sosial budaya berkaitan dengan kultur masyarakat yang berupa
persepsi/pandangan, adat istiadat, dan kebiasaan. Peserta didik selalu
melakukan kontak dengan masyarakat. Pengaruh-pengaruh budaya yang
negatif dan salah terhadap dunia pendidikan akan turut berpengaruh
terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak. Peserta didik yang bergaul
dengan teman-temannya yang tidak sekolah atau putus sekolah akan
terpengaruh dengan mereka.
Adanya
faktor lingkungan sosial budaya ini berawal dari sebuah teori empiris
dari Jhon Locke, seorang ahli filsafat Inggris pada tahun 1632-1704. Ia
mengatakan bahwa anak lahir seperti kertas putih yang belum mendapat
coretan sedikitpun. Akan dijadikan apa kertas itu terserah kepada yang
menulisnya. Teori Jhon Locke ini disebut pula dengan teori tabularasa.
Menurut teori Jhon Locke, manusia tidak memiliki pembawaan. Seluruh
perkembangan hidupnya sejak lahir sampai dewasa semata-mata ditentukan
oleh faktor luar atau faktor lingkungan, seperti lingkungan keluarga dan
masyarakat.
Menurut
Dalyono (2008), “Lingkungan sosial budaya masyarakat adalah semua
orang/manusia yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan
anak.” Pengaruh
sosial tersebut dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh secara langsung, seperti terjadi di dalam pergaulan anak
sehari-hari dengan teman sebayanya atau orang lain. Yang tidak langsung
dapat terjadi melalui jalur informasi, seperti radio atau televisi.
Masih menurut Dalyono (2008), “Anak-anak yang dibesarkan di kota pola
pikirnya berbeda dengan anak di desa.” Pada umumnya anak yang tinggal di
kota lebih bersikap aktif dan dinamis, bila dibandingkan dengan anak
desa yang selalu bersikap statis dan lamban. Itulah sebabnya,
perkembangan dan kemajuan anak yang tinggal di kota jauh lebih pesat
daripada anak yang tinggal di desa.
Penelitian
Firdaus (2005) menyebutkan bahwa rendahnya minat orang tua untuk
melanjutkan pendidikan anaknya ke Sekolah Menengah Pertama disebabkan: Pertama, faktor sosial budaya sebesar 87,3%. Kedua, faktor kurangnya biaya pendidikan (ekonomi tidak mampu) diperoleh sebesar 86,0%. Ketiga, faktor kurangnya tingkat kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan (faktor orang tua) diperoleh sebesar 59,1%. Keempat, letak geografis sekolah sebesar 50,8%.
Data
di atas menunjukkan bahwa masyarakat kecewa dengan kualitas pendidikan.
Masyarakat ‘yang berpikiran sempit’ memandang bahwa pendidikan formal
tidak begitu penting. Asumsi ini lahir karena masyarakat beranggapan
bahwa menyekolahkan anaknya di pendidikan formal hanya menambah jumlah
pengangguran. Hal ini disebabkan oleh keluaran para lulusan sekolah
lanjutan belum mampu memenuhi dunia kerja. Akibatnya, selalu terjadi
penumpukan tenaga kerja setiap tahunnya (Tirtarahardja dan La Sula,
2000).
Rendahnya
minat untuk melanjutkan ke SMP sungguh sangat memperihatinkan semua
pihak. Imbasnya, hal itu banyak terjadi di desa-desa atau di pelosok
daerah yang tergolong terpencil. Ini terjadi karena masih banyak
masyarakat yang kurang menyadari akan penting pendidikan. Meskipun
pemerintah telah memberikan sosialisasi tentang pendidikan, tetapi masih
ada sebagian anak terpaksa tidak bisa melanjutkan ke jenjang sekolah
yang lebih tinggi. Kondisi ini terjadi karena masih banyak masyarakat
yang kurang menyadari akan pentingnya pendidikan.
Gunawan
(2000) mengatakan bahwa, “Sekolah sebagai lembaga pendidikan sangat
berperan dalam proses sosialisasi individu agar menjadi anggota
masyarakat yang bermakna bagi masyarakatnya.” Melalui pendidikan formal
akan terbentuk kepribadian seseorang yang diukur dari perkembangan aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor seperti terdapat dalam teori Bloom.
Jadi, masyarakat yang tidak menyadari pentingnya pendidikan formal akan
menjadi masyarakat yang minim pengetahuan, kurang keterampilan, dan
kurang keahlian. Mereka akan menjadi masyarakat yang tertinggal dan
terbelakang. Dalam persaingan, mereka akan kalah bersaing dengan
masyarakat lain yang pendidikannya sudah maju, terlebih-lebih bersaing
pada era globalisasi dan informasi pada saat ini. Yang akan terjadi di
kemudian hari, anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan formal akan
menjadi beban bagi masyarakat bahkan sering menjadi pengganggu
ketentraman masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya pendidikan
atau pengalaman intelektualnya, serta tidak memiliki keterampilan yang
menopang kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar